Hembus nafas menemaniku dalam paruh malam itu, menjadikan aku termangu sebab memori pasca peristiwa sakral yang kian menyadarkan diriku. Bahwa raga serta ruh ini bukan milik manusia seutuhnya. Runtuh bayangan imajinasi memelukku, melayang bersama angan-angan kemungkinan menawarkan keajaiban dalam balutan kenaifan. Wahai burung-burung gagak yang menyerukan pertanda bahwa masa senja telah usai, aku meminta kepadamu sampaikan harapku pada Tuhan kiranya aku masih diberi waktu.
Hanya separuh sisa nyawaku.
Aku termangu.
Aku tergugu.
Aku bersama aku.
Menyaksikan putusnya ajal manusia terkasihku.
Dengarkan aku, inilah dongengku. Sebuah cerita pilu tentang kisah pengorbanan seorang ayah. Memang benar, kasih itu begitu nyata. Tercipta bersama taburan ucapan sayang ketika malam sebagai bahasa cinta. Begitu indah. Seindah senyuman kekasih hatiku kala bertemu dalam ruang-ruang rindu. Kasih sayang itu untuk anaknya. Disebut anak sebab memang ia masih belia. Karena dewasa tak bertolak pada usia, maka usia hanya berisi nominal angka saja.
Namun siapa sangka, kasih itu berbalut duri yang menawarkan kisah tragis dalam sisa waktu-waktu senja. Dalam hening waktu, ia mencoba berserah kepada Sang Kuasa mengharapkan rida bahwa nyawa memang bukanlah miliknya. Ia terlena bersama amarah untuk manusia-manusia hina. Dikata hina sebab tak punya etika. Nurani pun sudah musnah, yang tersisa hanya batas-batas antara manusia dan siluman tak kasat mata. Berwujud manusia tetapi begitu kau tahu isi kepalanya, kan kau temui dedemit yang lebih hina dari iblis yang tak pernah fana.
Iman memang nyata, tercermin dalam perbuatan dan tutur kata mulut manusia. Indah tuturnya cerminan hatinya, elok tingkah-lakunya refleksi dari apa yang diimaninya. Maka ketika kau temukan manusia-manusia bermulut kotor adalah ia dalang berwujud setan yang menyusupi dada membisikkan dengki dan amarah.
Lihatlah! Betapa tragis kisah hidupnya. Kasih sayang untuk belia begitu nyata, hingga akhirya menikam dirinya. Nyawa menjadi musnah bersama impian-impian dan harapan tentang bahagia yang sederhana. Memeluk orang-orang terkasih, tertawa bersama, hingga menengok si kecil yang tengah berlatih menapakkan kakinya. Menggenggam tangan-tangan mungil menawarkan bahu untuk berkeluh-kesah di tengah badai kekejaman dunia.
Wahai anakku, tuturnya. Dunia ini penuh manusia biadab, berhati-hatilah. Jaga tutur katamu, engkau Jawa, engkau beragama, engkau putri kecilku. Aku menyayangimu, anakku. Hapus air matamu, aku menyasikan kesedihanmu. Aku merindukanmu, aku tak ingin melupakanmu. Namun aku bersama aku, engkau tak tahu aku. Namun aku selalu bersamamu. Aku ada. Aku nyata. Berada di dalam dada. Rasakan nuranimu. Dinamakan ikatan batin sebab raga tak lagi bersua. Maka sebut aku dalam doa. Terbanglah, nak! Aku menyaksikan ketika kau mengepakkan sayapmu, aku menyaksikan ketika kau berada dalam balutan awan-awan keajaiban. Aku menunggumu, sayangku, bersamaku di sini dalam ruang-ruang keabadian. Kan kutunggu dirimu, bersama kekasih pujaanku, ibumu, dewiku.
Ia bersama gelisah bertanya-tanya di mana ragaku. Oh Tuhan! rupanya tubuh telah berpisah dengan ruhnya. Dalam hening ia mencari jawaban-jawaban tak pasti. Kasih sayang itu mengeluarkan racun, mematikan dirinya, membakar amarahnya, menikam ketika ia terlelap. Maka ketika kematian menghampiri, akankah engkau tersadar bahwa jawaban itu tercermin pada tindakanmu? Dalam hening ia mendekam bersama sesal, tangannya terkepal bersungut menyesali tindakannya yang tak mampu mengontrol rasa sayang.
Cinta memang indah, namun cinta kini hanya berwujud fana ketika raga tak ada entitasnya. Sisa-sisa cinta menjadi indah dalam wujud kenangan yang hanya bisa dirasa dalam hening malam. Diceritakan kepada siapa-siapa yang memang punya telinga. Sebab tak semua telinga bisa mendengar, namun semua mulut akan selalu bisa mencaci dan berkata bahwa ia selalu benar.
Labirin-labirin imaji berbisik menawarkan harapan mimpi yang membangunkanku di kala subuh buta. Aku tergolek. Menengok atap-atap ruangan yang menyisakan ibuku bersama sujud melantunkan kidung doa-doa mempersembahkan jiwa, raga, serta relung hatinya kepada Sang Pencipta. Rupanya aku telah hanyut sejenak bersama ingatan-ingatan tentang kisah yang selalu kuulang-ulang dalam hening malam.
30 Juni 2021