Apakah seorang anak-anak wajar mengucapkan kata jancuk? Kutaksir usianya kurang dari tiga tahun. Aku mendengarnya ketika sedang berada di kereta. Beberapa hal ini dan itu bercokol di kepalaku ketika ibu ataupun orang di sekitar hanya menertawakan bocah itu. Ungkapan itu dianggapnya sebagai guyonan saja. Bahkan aku mendengar sang ibu terkikik geli. Juga para penumpang yang tidak sengaja mencela sambil berbisik-bisik. Ada yang tertawa, terkikik, berdecak, berbisik, dan beragam ekspresi oral yang keluar dari wajah mereka juga tidak sengaja terdengar oleh telinga.
Namun di samping bocah itu ada sang Kakek yang rupanya malu dengan perbuatan sang cucu ini. Banyak hal ini dan itu, ini dibuktikan dari posisi sang Kakek yang berada di samping bocah itu lalu menceramahinya seperti mengajarkan satu sesi panjang terkait bab norma dan etika yang mungkin tak dimengerti oleh si bocah itu sendiri. Persoalan kata-kata umpatan ini tentunya tidak-lah menarik jika tidak menimbulkan kegaduhan.
Sekali diucap, oh! rupanya menarik perhatian. Dua kali disebutkan, wah! asyik sekali. Tiga kali dilafalkan, astaga! mereka menertawakan?!
Jika dilihat-lihat lebih jauh dengan penglihatan yang membutuhkan perhatian yang lebih jeli lagi maka aku bertanya-tanya apakah karena sang kakek telah terlahir lebih dahulu oleh sebab itu ia merasa malu sedangkan si ibu muda dan manusia dewasa lain yang menghuni satu gerbong kereta sama sekali tak merasa terganggu?
Aku tersenyum miris. Memang terkadang ada banyak hal ini dan itu dan banyak sekali kejadian tak terduga di kereta. Dan tiap kali aku melawati perjalanan itu kualami pula pengalaman yang berbeda-beda.
Aku pernah mendengar bahwa anak-anak terlahir fitrah seperti kertas putih. Namun itu belum cukup, mereka juga dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. Mengenai hal ini ada banyak faktor yang melatarbelakangi. Seperti, bersama siapa anak-anak itu bermain, berbicara, bergurau, juga banyak sekali kegiatan dan dengan siapa mereka menghabiskan waktunya. Juga, siapa orangtuanya, siapa simbahnya, bahkan jika ingin lebih ekstrim lagi siapa buyutnya. Siapa pula temannya dan banyak sekali keterangan yang menyertainya. Pun, bagaimana dengan pola asuhnya, apa kebiasaannya, apa kesukaannya, apakah tercukupi betul kebutuhannya. Juga beragam tanya-tanya yang bahkan tak mampu tertulis dalam kisah-kasihnya.
Anak kecil itu juru tiru.
Anak-anak suka sekali meniru apa-apa yang ada di sekitarnya. Mereka tidak tahu baik atau buruk. Mereka tidak tahu benar atau salah. Mereka bertindak sebab meniru manusia di sekitarnya. Dikatakan polos sebab mudah digiring, diajari, ditipu, juga diarahkan. Mudah sekali mengajarkan hal-hal baru kepada anak-anak. Entah itu pelajaran baik atau buruk. Misalnya hal sekecil membuang sampah. Jika dikenalkan dengan baik, disampaikan dengan tutur kata yang halus dan lembut, juga disertai segala alasan-alasan logis mengapa harus melakukan kegiatan membuang sampah maka ia akan terbiasa untuk melakukan aktivitas itu dalam kehidupan nyata.
Otak anak-anak itu berfunsi sangat hebat. Meski aku juga sadar otak-otak juga rasanya sangat enak. Namun jelas otak anak-anak berbeda dengan otak-otak. Otak anak-anak bisa sangat cepat merespon sekitarnya. Mereka pandai dalam belajar sesuatu dan lain hal meski demikian mereka juga bisa menjadi lucu sekaligus. Bayangkan, pipi yang menggembung itu terlihat bisa saja meletus sewaktu-waktu.
Namun anak-anak yang lucu ketika melakukan kesalahan bukan untuk ditertawakan. Bukankah sebaiknya jika ada yang salah maka diingatkan? Diberi petunjuk arahan yang benar, jalan yang benar dan ucapan yang benar, benar ini adalah sebenar-benarnya kebenaran itu sendiri. Sebab anak-anak itu berpikir dengan cepat dan pintar. Maka di sini-lah letak kebijaksanaan manusia dewasa dipertunjukkan. Mampukah ia mengatakan kebenaran yang sederhana hingga mampu diterima oleh logika anak-anak.
Tidak kalah penting juga, harus tahu siapa figur yang menjadi hero dalam kehidupan si anak. Siapa yang mencoba menanamkan nilai-nilai kepadanya. Juga siapa yang benar-benar bisa memegang kontrol atas segala tindakannya. Begini, ini bukan tentang dominasi kuasa atau sejenisnya. Namun ini tentang konteks anak-anak yang begitu aktif, cenderung ingin tahu segala hal, juga ingin melakukan semua yang menarik perhatiannya.
Ada yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ada yang baik dan tidak baik dilakukan. Ada yang benar dan tidak benar dilakukan. Baik, benar, serta boleh itu lebih bagus. Namun jika ada pertentangan antara satu atau ketiganya maka di sini lah peran manusia dewasa itu berada. Bukankah sudah semestinya para manusia dewasa mengarahkan anak-anak? Maka jawabannya adalah pilihlah yang baik. Pilihan yang baik untuk anak-anak, juga untuk yang lainnya. Sebab benar dan boleh ini belum tentu benar juga boleh. Karena ada kebebasan yang mengikat juga ada ruang-ruang yang hanya Tuhan yang tahu apa itu kebenaran.
Menurutku bisa saja benar namun di mata orang lain bisa saja salah. Juga persoalan boleh saja aku melakukannya namun ternyata itu melanggar kebebasan orang lain maka di sini terlihat ada batas-batas tertentu yang tidak kasat mata. Semua itu berlandaskan pada toleransi. Bagaimana bisa menerima juga menghargai orang lain. Serta menghormati nilai-nilai yang menjadi pedomannya.
Aku pernah membaca penjelasan tentang bagaimana menerima orang-orang yang tidak sepaham ataupun tidak cocok dengan diri kita. Kuncinya adalah diam dan terima. Menerima mereka adalah menghargai mereka. Mereka itu juga makhluk Tuhan. Jangan mencela, jangan mengganggu, jangan menghakimi, sebab mereka berlaku demikian karena banyak faktor yang juga melatarbelakangi tindakannya.
Jadi, anak-anak dan jancuk ini bagaimana menyikapinya? Jawabannya adalah bahwa ada ruang-ruang yang hanya dimengerti oleh mereka yang memang benar-benar telah memahaminya.